Pages

Minggu, Juli 06, 2008

SALON AJENG, “Hantu Rumah Pojok”

Ya gitu deh sehari-harinya Ajeng Kusumaning Tyas. Tepat!! Ajeng saben harinya nglukis wajah, kepala, bahkan sampe ke kuku-kukunya sekaligus Ajeng lukis pake kutek. Gimana lagi? Ya emang itu profesi Ajeng, yaitu menjadi salonist alias tukang dandanin orang.

Sejak 2 (dua) tahun silam, Ajeng menggeluti profesi ini dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Didukung lagi karena Ajeng begitu menggemari jenis pekerjaan yang satu ini.

Pagi itu masih seperti pagi kemarin. Di mana dipenuhi ibu-ibu yang sedang berebut sayuran segar dari tukang sayur yang keliling melintasi sepanjang jalan Salon Ajeng. Dan Ajeng juga masih seperti Ajeng kemarin. Yang disibukkan untuk memoles wajah para pengguna jasanya. Pagi itu terdapat pelanggan yang cukup senior keluar-masuk Salon Ajeng. Bahkan kadang, dalam satu hari bisa sampe 3 (tiga) kali. Maklum, wajah pelanggan yang satu ini cukup unik. Gak beda jauh sama jalan beraspal yang sudah berabad-abad gak diperbaiki. Kebayang kan seberapa hancurnya? Ajeng kudu ngampelas dulu, kemudian mendempulnya, lalu ngampelas lagi, dan dempul lagi, begitu seterusnya sampai didapatkan kulit wajah yang halus mulus semulus kulit Luna Maya.

“Pagi ini ada acara apa, Mbak Retno?”, tanya Ajeng pada pelanggan itu yang empunya sebutan Retno. “Pagi ini, mbak ada janjian keluar untuk makan bareng Mas Hasyim. Itu lho Jeng, satu-satunya penghuni rumah paling ujung!”.

“Haa… Mas Hasyim yang wajahnya serem itu, mbak? Yang keluar rumah setahun sekali di bulan Suro itu? Yang gigi taringnya panjang kayak Drakula itu? Emangnya mbak nggak takut jalan bareng Mas Hasyim?”, tanya Ajeng panjang lebar.

“Aahh… itu sih cuma gosip belaka, Jeng! Nyatanya mbak janjian sama Mas Hasyim!”, Mbak Retno melakukan pembelaan terhadap satu-satunya spesies manusia yang mau mengajaknya berkencan.

Beberapa saat kemudian, Ajeng selesai dengan pekerjaannya mermak wajah Mbak Retno. Dan hasilnya memang nggak mengecewakan. Mbak Retno dibikin Ajeng terheran-heran sekaligus terkekeh-kekeh, dan tersenyum lebar penuh kepuasan melihat wajah yang menghiasi kepalanya itu. Benar-benar nggak beda dikit dengan Luna Maya??! Berarti beda jauh dong!!?

Thanks ya, Jeng! You’re a woman behind the scene of me!”, seutas puji terlontar dari bibir Mbak Retno buat Ajeng. “Akh, Mbak ini! Nggak usah berlebih deh! Biasanya juga ke sini kan? So, wajar dong kalo Mbak dapat yang terbaik!”, tambah Ajeng. “Sekali lagi, thanks! Mbak berangkat dulu, Jeng!”.

Sesaat Mbak Retno menghilang dari Salon Ajeng sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan kepada Ajeng. Dan nggak butuh waktu terlalu lama untuk Mbak Retno tiba di tempat Mas Hasyim karena Salon Ajeng satu gang dengan rumah yang dihuni oleh Mas Hasyim.

Mbak Retno kaget penuh makna melihat wujud rumah Mas Hasyim yang penuh dengan sarang laba-laba dan semak belukar yang rimbun, juga dedaunan kering memenuhi pelataran rumah itu. Dada Mbak Retno berdetak kencang seraya membatin, “Benarkah yang diucap Ajeng tadi ya? Kalo benar??!....”.

“Lariiiiii………!!!!!”.

Keesokan harinya. Seperti biasanya, Mbak Retno berjalan menuju Salon tempat Ajeng bekerja.

“Jeng, Jeng. Sini deh Mbak ceritain. Kemaren Mbak beneran ke tempat Mas Hasyim. Tahun nggak? Rumahnya itu lho??! Rumah hantu kalah serem kale sama tu rumah! Pokoknya serem banget! Udah dekil, kumuh, kotor, banyak dedaunan berserakan di mana-mana. Hiii…!!”, tutur Mbak Retno.

“Kemaren udah Ajeng bilangin, Mbak ngeyel!”. “Iya, Jeng. Habis, baru pertama kali ini ada cowok yang mau mengajak pergi makan, Mbak. So, Mbak bela-belain banget buat kencan ini”

Suasana terdiam sejenak. Sampai terdengar suara ringtone Mbak Retno berlagukan kucing garong yang mengagetkan Ajeng. Melihat yang menelepon nomor tak dikenal, Mbak Retno langsung menganggat telepon itu, “Iya, di sini Retno. Situ siapa ya?”, tanya Mbak Retno.

Dari ujung gagang handphone yang digenggam Mbak Retno, terdengar suara bapak-bapak berujar, “Ini Mas Hasyim. Maaf ya kemaren Mas lagi ada tugas di luar kota. Jadi nggak bisa ketemu sama ade Retno. Nggak apa-apa ya? Mas ganti deh sama malam ini bagaimana?”, tawar Mas Hasyim.

Mbak Retno yang sejak tadi berdiri di pojok ruang salon Ajeng terdiam kaku. Nggak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, karena ketakutan Mbak Retno yang beraduk dengan rasa penasarannya ingin tahu, maka ia memberanikan diri untuk menjawabnya. “I…i… iya, m…mm… Mas. Tet…tet..tapi, Ade a…ajak tet…temen ya!”, ucap Mbak Retno sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ajeng. Ajeng langsung menangkap maksud Mbak Retno. Ajeng menggeleng-gelengkan kepala. Namun, Mbak Retno sudah terlanjur bilang ke Mas Hasyim untuk mengajak Ajeng.

“Ya, udah. Mas tunggu jam sebelas malam ya di rumah! Mwahhh…!”, ujar Mas Hasyim. Di tempat Ajeng, Mbak Retno terkaget dan berujar, “Lho, eh!! Jangan ditutup dulu! Kok jam sebelas? Pa ga’ kemalaman?”. Tanya Mbak Retno tak berarti sebab Mas Hasyim sudah menutup teleponnya.

“Mbak ini apa-apaan sih! Mbak tahu sendiri kan kalo Ajeng takut! Kenapa juga Mbak ajak Ajeng untuk ikut ke rumah hantu itu?”, protes Ajeng. “Siapa lagi kalo bukan Ajeng yang Mbak ajak?”, tutur Mbak Retno penuh harap. “Lagian, kenapa juga harus jam sebelas malam? Aneh! Makin mencurigakan saja!”. “Mbak juga nggak tahu. Makanya Mbak penasaran. Bener nggak ada hantu di rumah pojok itu seperti gosip yang beredar selama ini?”. Setelah berfikir sejenak, Ajeng pun mengiyakannya yang disertai dengan sebuah anggukan kepala.

Malam harinya. Tepat pukul sebelas malam. Mbak Retno dan Ajeng tiba di rumah pojok. Bulu kuduk mereka kompak berdiri bareng-bareng. Ajeng tampak jijik sekali melihat keadaan rumah berantakan itu sambil memanyun-manyunkan bibirkan ke depan. Mbak Retno turut memancungkan bibir pertanda jijik. Beberapa langkah mereka membawa tepat berada di depan pintu rumah Mas Hasyim. “Assalamu’alaikum!”, teriak Ajeng. “Malam, mas!”. “Sugeng ndalu!”. Ajeng berusaha mengeluarkan isi penghuni rumah itu. Namun tak ada jawaban sama sekali. Yang terdengar hanya siulan burung hantu yang menggelitik telinga mereka. Ajeng kemudian perlahan membuka pintu itu. “Krieetttt…”, suara pintu terdengar menyeramkan di tengah malam seperti ini. Dengan langkah terpatah-patah, Ajeng dan Mbak Retno masuk ke dalam.

“Rumah orang apa kandang sapi ni?”, ucap Ajeng kenceng menggetarkan seluruh ruangan. Gubrakkk!!! Gagang sapu yang ada di ujung pintu terjatuh mendengar suara nyaring garing milik Ajeng, hingga mengagetkan mereka. “Waaa… hantuuuu…!!!”, teriak Ajeng berikutnya. “Mana hantu? Cuma sapu jatuh!”. Debu-debu yang menyelimuti rumah itu turut bertaburan mendengar teriakan Ajeng berikutnya.

Sambil melanjutkan langkahnya, Mbak Retno berusaha memanggil Mas Hasyim. “Mas…, Mas Hasyim. Mas di rumah kan? Mas nggak keluar kota lagi kan?”, tanya Mbak Retno menggema di rumah kecil itu. “Aduhhh…, Mbak. Mending kita pulang aja deh. Ajeng udah nggak tahan lagi nahan kencing karena ketakutan!”, tutur Ajeng polos. “Tahan aja dulu, Jeng. Bentar lagi juga nongol Mas Hasyimnya!”, Mbak Retno tetap bersikukuh Mas Hasyim itu ada. “Mana? Paling kalo ada yang keluar, hantunya Mas Hasyim!”. “Hsst… jangan asal ngoceh, Jeng! Beneran, bisa kencing di celana nanti!”. “Ajeng nggak bakal kencing di celana, Mbak. Yang biasanya kencing di celana kan Ariel Martyn….??!”

Setelah satu jam berada di dalam rumah, mereka pun bosan dan berinisiatif untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan menuju keluar, terdengar gemuruh angin dan suara-suara misteri dari ujung kamar. Perlahan-lahan, kaki mereka berdua mendekat ke kamar ujung itu. Telinga mereka pun peka terhadap suara yang ditimbulkan dari dalam kamar. Mbak Retno memimpin Ajeng membuka pintu kamar. “Kereteeeekkkk!!!”

Sekejap setelah suara pintu terbuka, suasana menjadi hening. Sunyi senyap terasa. Mata Ajeng dan Mbak Retno tertuju pada meja yang berada di tengah-tengah kamar itu. Tampak sebuah keluarga di mana terdapat bapak, ibu, dua anaknya dan seorang nenek sedang dinner bersama. Anehnya, seluruh anggota keluarga itu memasukkan makanannya ke dalam leher mereka, karena seluruh anggota keluarga itu makan dengan tanpa kepala di anggota tubuh mereka. Sentak Ajeng menitikkan air dari balik celana pendeknya. Mbak Retno tergagap-gagap. Kemudian mereka berdua berteriak, “HANToooOooo….WWWWWuuuuwwwwW………!!!”

Sabtu, Juli 05, 2008

Tipu Daya Iblis yang Melembut

Mari kita bersama belajar bersyukur kepadaNya. Bungah atau senang untuk mengingat DiriNya Tuhan yang Al-Ghaib Wajib WujudNya. Bagaimana tidak, bernafas pun tidak tanpa dengan-Nya. Dengan kita menyenangi dan mencintai Diri-Nya Tuhan, otomatis Tuhan akan balik mencintai kita. Karena Tuhan senang dengan hamba yang mendzikiri-Nya. Dengan senantiasa mengingat Diri-Nya Tuhan, maka fitroh manusia akan gandeng atau nyambung dengan fitroh Tuhan.
Orang yang dipelihara Allah dengan beberapa martabat mursyidun (menunjukkan; yang ditunjukkan adalah tentang mengada-Nya DiriNya Tuhan, juga menunjukkan makna tentang temuan-temuan atau mimpi-mimpi agar tidak menyesatkan atau pun bahkan malah menjadikan pikukuh dalam perjalanan pulang kembali kepadaNya), murbiyyun (mendidik, ngithik-ngithik), nasihun (memberikan nasehat yang sama sekali tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan hadits, bahkan seia-sekata. Dan jika dijalani dengan ikhlas, buah manfaatnya sama dengan saat dinasehati oleh nabi Muhammad sendiri), kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Orang yang dipelihara oleh Allah dengan beberapa martabat di atas disebut ahli kamal.
Bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis di segala bidang. Dari bidang ekonomi, sosial, politik, moral, bahkan sampai ke bidang kerohanian pun bangsa ini telah dirongrong krisis. Hal ini bukan karena kesalahan murni dari seorang pemimpin yang memimpin negeri ini, tapi hal tersebut adalah tanggung jawab masing-masing individu untuk rela mengadili dirinya sendiri, tak terkecuali sosok pemimpin sekaligus harus turut belajar untuk mengadili diri sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang mengadili diri sendiri, lantas siapa yang akan mengadili? Apakah kita harus menunggu kejaksaan agung untuk mengadili kita? Yang nota bene komunitas mereka mampu dibelokkan arahnya, asal dengan adanya duit.
Untuk hal tersebut di atas, sesuai dengan makna ummatan wasathon, yaitu umat yang adil dan pilihan. Pilihan karena langsung dipilih oleh Tuhan. Kenapa langsung oleh Tuhan? Karena tanpa belas kasih-Nya, tak satu pun hamba yang bisa selamat kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, murni pilihan Tuhan. Dan adil; karena mau mengadili diri sendiri agar tidak diperbudak oleh nafsu. Gerak-geriknya murni ikut siliring kudratullah. Dan hal inilah yang disebut dengan merdeka sejati. Caranya adalah dengan percaya dan mau menjalankan dawuh Guru. Guru yaitu hakekatnya Tuhan sendiri. Berusaha membuktikan kumpulnya syareat dan hakekat.
Cara tersebut di atas adalah modal dasar untuk berusaha menjadi kekasih Tuhan. Percaya dengan mengada-Nya DiriNya Tuhan yang Al-Ghaib dan Wajib WujudNya itu, dan percaya bahwa sosok yang menunjukkan hal tersebut adalah hak dan syah wakilNya yang ada di bumi. Karena Tuhan tidak ngejowantah, maka mengirim utusanNya yang berwujud manusia karena yang dipimpinnya adalah manusia. Dan gelem atau mau; mau memaksa diri agar nafsu yang wujudnya adalah jenggeleke jiwa raga ini menjadi tunggangan kembali kepadaNya. Hal ini tertuang di dalam firmanNya QS. Annisa: 83.
Syareat, yang berasal dari kata syara’a; yaitu mempola jalan kepada sumber. Dan sumber segalanya adalah Tuhan. Jadi, harus kenal dengan Tuhannya atau sumbernya. Syareat terbentuk dari dua komponen, yaitu yang mahdzoh dan ghoiru mahdzoh. Tidak hanya mahdzoh yang di antaranya adalah shahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu, tapi juga ghoiru mahdzoh, di antaranya gotong royong, guyub, rukun, bersosialisasi dengan masyarakat, memperbaiki akhlaq, dan lain-lain. Kenapa harus dibarengi dengan hakekat? Karena yang dituju adalah Tuhan atau sumber segala, maka yang senantiasa diingat-ingat adalah Tuhan sendiri. Hal ini disebut dengan hakekat karena menghadirkan DiriNya Tuhan di dalam rasa hati kita.
Hak mutlak Allah dari dulu hingga sekarang dan seterusnya tidak akan pernah berubah, yaitu “Tidak akan bisa kembali kepadaNya tanpa dengan wasithah”. Kenapa harus wasithah? Pada dasarnya, seluruh utusan Tuhan sejak Nabi Adam AS, hingga Nabi Muhammad SAW, dan wakil-wakilnya yang gilir gumanti hingga jebating jagad tugas pokoknya adalah sebagai wasithah atau penghubung. Yang dihubungkan adalah fitroh manusia yang dibentuk oleh fitroh Tuhan sendiri dihubungkan dengan fitroh sumber (fitroh-Nya Tuhan sendiri). Hal inilah yang mendasari Tuhan membentuk wakil-wakilNya di bumi agar manusia menyembah kepadaNya.
Fenomena-fenomena alam dan kejadian-kejadian yang semakin hari semakin membelenggu rakyat Indonesia akhir ini, seperti: naiknya harga BBM yang mengakibatkan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok dan seluruh aspek yang mencakup kesejahteraan masyarakat adalah contoh kongkrit tipu muslihat iblis untuk menghilangkan fungsi pokok Tuhan sebagai papan tujuan kembali. Fungsi tersebut dialihkan dengan men-Tuhan-kan uang sebagai segala-galanya. Uang sebagai penopang hidup, dan uang sebagai tempat bergantung. Mereka terbuai akan
Apakah mereka sadar dengan hal ini? Sebagian besar manusia di dunia terbelenggu dengan hal ini. Dan sebagian kecil menganggapnya dengan opo jare (biarkan saja). Dalam menghadapi hal tersebut, kita harus memiliki pondasi yang kokoh. Pondasi tersebut tidak lain adalah dengan bersabar. Sabar di sini memiliki maksud orang yang bisa menerima kenyataan dan semeleh atau berpasrah diri kepada Tuhan. Berpasrah diri karena segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Satu hal yang pasti, Tuhan memberikan suatu cobaan kepada hamba, disesuaikan dengan kemampuan dari hamba tersebut. Gaman atau senjatanya adalah meneng, ndewe, luwe, dan melek. Meneng (diam) karena situasi tidak mendukung, takut-takut akan salah ucap, ndewe (menyendiri) karena mau pergi tidak bisa sebab BBM mahal, luwe (lapar) karena harga kebutuhan pokok melambung, dan melek (tidak tidur), bagaimana bisa tidur kalau perutnya keroncongan?
Dengan beberapa modal di atas, semoga kita semua senantiasa berada di dalam rengkuhan dari segala sumber dan senantiasa mendapatkan berberan berkah sawab pangestu Guru, amin.

Kamis, Juli 03, 2008

Bangun dong, ArieL

Bangun dong, Ariel?! Kalimat ini pernah dilontarkan oleh Hilman di Dalam maha karya beliau yang berjudul "Bangun dong, Lupus!", Kalimat ini pula yang terlontar untuk si Ariel (nama samaran). Saat ini Ariel kuliah di kampus teknik swasta di Jawa Timur. Kata orang sih, kampus teknik terkenal dengan mahasiswa abadinya. Ya kalo emang gito, masa Ariel juga harus turut mengenyam menjadi mahasiswa abadi? Di sisi lain, banyak tuntutan untuk segera menyelesaikan studi_nya itu, dari ortu, pacar, embah, pakde, bude, paklik, bulik, mbak, ade, dan seluruh civitas Ariel Martyn's families. Kebayang kan gimana pusingnya si Ariel sekarang ini! TA yang dikerjakan Ariel saat ini adalah tentang PAYROLL SYSTEM sebuah perusahaan kecil yang dikelola oleh bapaknya sendiri.
Sebenarnya, semua data yang dibutuhkan sudah lengkap! Gimana gak? data tinggal bilang ma babe langsung cair. Dasar Arielnya aja yang lelet. Ariel mengerjakan sistem tersebut dengan pemahaman materi perkuliahan tentang SIM, ANISSISFO, SISTEM BASIS DATA, de el el. Dan menggunakan Visual Basic6.0 dalam pengerjaan programnya. Doa'in ja ya, moga-moga ja Ariel tabah menghadapi semua, dan semoga lekas lulus, amin.